Thailand & Pindapata

Januari, awal tahun 2020. Saya berkesempatan menjelajah ke negara Thailand. 

Yup, berbeda dengan negara Indonesia yang mayoritas muslim, Thailand adalah negara dengan penduduk mayoritas beragama Budha. Meskipun hanya beberapa hari disana, saya menemukan beberapa hal yang menurut saya menarik untuk dicatat, salah satunya adalah tentang interaksi antara penduduk lokal dengan para biksu / bhikkhu.

Pemuka agama di Indonesia (terutama Islam), cenderung membaur dengan orang orang sekitar. Dari pengamatan saya, para  bhikkhu cenderung berperilaku dan diperlakukan  secara khusus.  I'm not saying this is a bad thing, coz it's just how they do in their daily life.

Bagaimana para biksu berjalan bertelanjang kaki, dimanapun. 
Bagaimana penduduk asli mengurangi kecepatan / berhenti ketika berpapasan di jalan.  Bagaimana mereka diberikan jalur/tempat khusus di kapal yang menyeberangi sungai sungai di Bangkok. Bagi saya merupakan interaksi yang menarik. 

Satu hal mencolok yang membuat saya penasaran adalah tentang tradisi pindapata.

Suatu pagi, saya keluar dengan teman saya ke pasar untuk mencari sarapan di pasar sekitar Saphan Taksin. Terlihat seorang bhikkhu dengan pakaian orange.

Bertelanjang kaki. 

Berjalan pelan, membawa mangkok,  tanpa bicara apapun, berhenti di satu titik.  Beberapa penduduk lokal akan mendatangi bhikkhu tersebut dan memberikan makanan/uang. Hal itu lah yang disebut pindapata.

Ketika seorang penduduk yang dermawan memberi pindapata pada seorang bhikkhu, maka kita dapat melihat mereka akan membungkuk, mengangkat tangan diatas kepala sebagai tanda menghormati sang bhikkhu, lalu mempersembahkan makanan kepada sang bhikkhu. Sang bhikkhu mengambil makanan tersebut kemudian berbalik dan pergi tanpa sepatah katapun. Setelah itu pun, si dermawan masih mengangkat tangan diatas kepala.

 

Si dermawan melakukan penghormatan berkali kali, sebagai bentuk terima kasih karena sang bhikkhu sudah mau menjadi perantara/jalan kebaikan bagi dirinya untuk menuju kesempurnaan. 


Kejadian tersebut membuat saya berpikir ulang tentang bagaimana seharusnya kita mempe. Bandingkan dengan sikap kita ketika berkesempatan membantu seseorang, sudahkah kita memposisikan orang lain sebagai perantara kebaikan kita kepada Tuhan? Atau kita cenderung membantu orang lain hanya untuk diri kita sendiri, hanya untuk memperbanyak rezeki misalnya?

 

 

 

Comments